Saat pasangan suami istri resmi mempunyai anak,
di situlah gelar sebagai ayah dan ibu tersematkan. Banyak pasangan suami istri
yang mendamba kelahiran seorang anak, namun tak banyak yang benar-benar siap
mempunyai anak. Anak bukan sekadar alat regenerasi manusia, buah cinta satu
malam, namun anak adalah karunia Tuhan yang sangat mulia sekaligus paling
rentan. Anak seperti emas hitam. Jika mampu mengolahnya, ia akan menjadi harta
paling berharga, dan sebaliknya. Jika gagal mengelolanya, dia adalah peledak
paling dahsyat yang mampu meruntuhkan segalanya.
Orang tua yang mendamba hadirnya anak, harus
siap pula mempertanggungjawabkan anak yang lahir sebagai mungkin. Banyak hal
yang harus dipersiapkan orang tua. Mulai dari kondisi ekonomi, waktu, pikiran,
dan kasih sayang haruslah ada dan disiapkan orang tua.
(Baca : Setiap 6 Jam, 1 Bayi Meninggal Dunia)
Jika belum siap segalanya, maka yang hadir
adalah kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak. Kesalahan tersebut berdampak
bagi tumbuhkembang anak secara kognitif, psikologis, dan fisik.
Berikut lima kesalahan orang tua dalam mendidik
anak yang diungkapkan piskolog keluarga, Efnie Indrianie, M. Psi yang dikutip
dari laman viva.
Membanding-banding anak
Tanpa disadari, kebiasaan membanding-bandingkan
anak dengan anak yang akan berdampak buruk pada psikologis anak. Anak yang
menjadi alat banding-membanding akan cenderung mengalami penurunan percaya
diri. Percaya diri yang menurun akan menyebabkan anak tersebut kurang dalam
mampu menjalin hubungan sosial atau enggan tampil menunjukkan bakatnya.
Apresiasi keberhasilan dan usaha anak
Sebagai orang tua, kadang kita tanpa sadar
menuntut anak untuk lebih dari sekarang. Semisal saja, nilai rata-rata kelas
anak di sekolah itu 75. Anak berhasil mendapat nilai 80, orang tua justru
mengatakan mengapa Cuma 80? Kenapa tidak 100?
Apresiasi yang kurang terhadap apa yang sudah
diraih anak akan membuatnya minder dan enggan berusaha lebih lagi. Hal ini juga
akan membentuk konsep pola pikir anak bahwa usaha yang telah dilakukannya tidak
dihargai atau sia-sia. Sebagai orang tua, apresiasi kebanggaan bagi anak sangat
penting karena anak merasa dihargai dan diakui usahanya.
Tidak menghabiskan waktu bersama anak
Orang tua karir tentunya sangat sibuk dengan
pekerjaannya. Hal ini akhirnya memicu kurang intensitasnya hubungan dengan
orang tua dan anak. Beban karir pun menjadi salah satu pemicu stress dan bad
mood di mana ujung-ujung anak yang menuntut kasih sayang justru menjadi tempat
luapan emosi orang tua.
Quality time bersama keluarga sangat penting. Ini
berhubungan langsung dengan diakuinya keberadaan anak oleh orang tua. Bagi orang
tua karir, waktu berkualitas bersama anak bisa dilakukan secara rutin, seminggu
sekali misalnya.
Bertengkar dengan pasangan di depan anak
Pada dasarnya anak belajar dari memodel
lingkungan sekitar. Segala hal yang terhampar di hadapan mata anak adalah hal
yang istimewa. Makanya jangan heran, jika ada seorang anak yang meniru
kata-kata bapak atau ibundanya.
Hingga memasuki usia rasional, anak akan tetap
belajar dari konsep memodel lingkungan. Hal itulah yang kurang diperhatikan
orang tua. Anak belum bisa memetakan mana yang baik dan buruk, mana yang pantas
ia tiru atau buang. Kurang perhatiannya orang tua terhadap cara belajar anak,
membuat mereka tanpa sungkan bertengkar di depan anak mereka. Hal ini sangat
tidak baik bagi pertumbuhan psikologi anak. Ada kecenderungan anak akan meniru
dan anak akan trauma dengan orang tuanya yang berteriak keras-keras. Jika itu
terjadi, hubungan anak dan orang tua akan menjadi renggang.
Menerapkan konsep materi kepada anak
Anak adalah tingkatan usia manusia yang sangat
membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Ia belum bisa sepenuhnya mandiri
seperti layaknya orang dewasa. Anak juga belum mampu mencapai level pemikiran
rasional seperti orang dewasa. Banyak anak secara polosnya bertanya, mengapa
ayah atau ibu sibuk bekerja. Sering kita sebagai orang tua menjawab bahwa kita
bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita. tanpa kerja kita tidak bisa hidup, atau
jawaban lainnya. Hal ini akan menjadikan pola pikir anak berorientasi semua
pada uang.
Pada dasarnya, anak adalah titipan. Ia seperti
batu dan orang tua adalah pemahatnya. Semakin banyak waktu, pikiran, dan
perhatian dicurahkan pada pemahatan batu tersebut, hasilnya akan menjadi patung
yang punya nilai estetis tinggi dan sangat berharga. Begitu pula yang akan
terjadi sebaliknya, tanpa perhatian, curahan waktu dan pikiran, batu itu akan
tetap menjadi batu, bahkan akan hancur.
Sumber gambar : www.kesekolah.com
0 comments :
Post a Comment